MALANG, Pelitaonline.id – Nyladran adalah ritual atau selametan masyarakat desa Gunungronggo dusun Sumber Jenon diadakan setiap tahun. Tradisi ini juga sebagai Destinasi Wisata di Sumber Jenon karena merupakan kawasan spiritual dari leluhur.
Selain itu, Nyladran juga sebagai sarana masyarakat mewujudkan rasa syukur terhadap kelimpahan lingkungan hidup seperti sumber mata air, serta mengingat sejarah dan menghormati jasa leluhur yang telah mendirikan desa ini. Masyarakat Gunung Ronggo biasa menyebutnya dengan sang “bedah krawang”
Bedah Krawang desa Gunung Ronggo dikenal dengan sebutan mbah “Irogati” Diceritakan Mbah Irogati telah berhasil melakukan pertapaan memohon doa kepada Allah SWT dibawah pohon “Jenu” untuk diberikan sumber mata air.
Beberapa lama kemudian pohon tumbang sehingga keluar sumber mata air yang tidak pernah kering yang kemudian diberi nama Sumber Jenu kemudian sekarang dikenal dengan wisata Sumber Jenon.
Menurut cerita para sesepuh, setelah melakukan tapa dan terkabul hajatnya, mbah Irogati akhirnya “Mukso” (hilang raga) hanya baju yang dipakai yang tersisa dan di makamkan di kawasan wisata Sumber Jenon.

Sumber Jenon menghasilkan debit air yang sangat besar sekitar 200 liter per detik (tes debit tahun 2006) dan Air tersebut diperuntukkan kebutuhan masyarakat dan HIPA (himpunan petani pemakai air) hingga kini. Selain itu, Sumber Jenon sudah menjadi “icon” desa Gunungronggo dan banyak dikunjungi Wisatawan.
Menurut tokoh adat desa setempat Surahmat, Nyladran ditentukan berdasarkan hari baik atau dalam bahasa jawa dikenal “Nggolek Dino” oleh para tokoh dan pemerintah desa yakni, setiap tahun di bulan “Selo” kalender Aboge.
“Tradisi Nyladran, dapat menjadi kearifan lokal Desa Gunung Ronggo,” katanya.
Desa Gunung Ronggo lanjut Surahmat adalah desa yang “gemah ripah loh jinawi” berkat Sumber Jenon dari sisi pertaniannya, selain itu juga memiliki banyak potensi dibidang adat dan budaya termasuk pariwisata.
Sementara itu Babinsa Desa Gunungronggo
Sutrisno, Prosesi Nyladran dilakukan gotong royong membersihkan jalan desa dan melakukan kirab dengan memakai baju adat Jawa serta membawa nasi tumpeng, Doa bersama yang di pimpin oleh tokoh adat dan tasyakuran makan bersama.
“Saya merasa senang dengan adanya tradisi Nyladran. Saya berharap tradisi adat ini tetap di lestarikan dan tidak dihilangkan karena merupakan aspek kearifan lokal desa dan terpenting suasana desa kondusif.” Tandasnya.
Pewarta : Genes Prateduh. S
Editor : Wahyudiono